2.1
Pengertian
Trauma kepala/cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai
daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik
secara langsung maupun tidak langsung pada kepala. (Suriadi & Rita Yuliani,
2001).
Cidera kepala (terbuka dan tertutup) terdiri dari fraktur
tengkorak, commusio (gegar) serebri, contusio (memar) serebri, laserasi dan
perdarahan serebral yaitu diantaranya subdural, epidural, intraserebral, dan
batang otak (Doenges, 2000:270).
Trauma kepala adalah suatu injuri yang dapat
melibatkan seluruh struktur kepala mulai dari lapisan kulit kepala atau tingkat
yang paling ringan, tulang tengkorak, duramater, vaskuler otak sampai dengan
jaringan otak sendiri baik berupa luka tertutup maupun tembus.
2.2
Klasifikasi
Klasifikasi trauma kepala
berdasarkan Glasgow Coma Skale (GCS):
1.
Cedera Kepala Ringan (CKR)
·
GCS 13 – 15
·
Tidak ada kehilangan kesadaran. Jika ada
tidak lebih dari 10 menit
·
Pasien mengeluh pusing, sakit kepala
·
Ada muntah, ada amnesia retrogad dan
tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan neurologis.
·
Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada
fraktur cerebral, hematoma.
2.
Cedera Kepala Sedang (CKS)
·
GCS 9 – 12
·
Ada pingsan lebih dari 10 menit
·
Sakit kepala, muntah, kejang dan amnesia
retrogad
·
Pemeriksaan neurologis terdapat
kelumpuhan saraf dan anggota gerak.
·
Dapat mengalami fraktur tengkorak.
·
Terjadi amnesia lebih dari 24 jam bahkan
sampai berhari-hari.
·
Resiko utama pasien yang mengalami
cedera kepala adalah kerusakan otak akibat perdarahan atau pembengkakan otak sebagai
respon terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan TIK.
3.
Cedera Kepala Berat (CKB)
·
GCS 3 – 8
·
Gejala serupa dengan CKS, hanya dalam
tingkat yang lebih berat
·
Penurunan kesadaran secara progresif dan
atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
·
Adanya fraktur tulang tengkorak dan
jaringan otak yang terlepas
·
Kontusio serebral, laserasi, atau
hematoma intrakranial.
2.3
Patofisiologi
Cedera memegang peranan yang sangat
besar dalam menentukan berat ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu
trauma kepala. Cedera percepatan (aselerasi) terjadi jika benda yang sedang
bergerak membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan benda
tumpul, atau karena kena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan (deselerasi)
adalah bila kepala membentur objek yang secara relatif tidak bergerak, seperti
badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan
bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang
terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa
dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan
trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang otak.
Cedera primer, yang terjadi pada waktu
benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba,
cedera robekan atau hemoragi. Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi
sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area
cedera. Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume darah) pada area
peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua
menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan
intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak
sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi.
Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera
kepala “fokal” dan “menyebar” sebagai kategori cedera kepala berat pada upaya
untuk menggambarkan hasil yang lebih khusus. Cedera fokal diakibatkan dari
kerusakan fokal yang meliputi kontusio serebral dan hematom intraserebral,
serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh perluasan massa lesi,
pergeseran otak atau hernia. Cedera otak menyebar dikaitkan dengan kerusakan
yang menyebar secara luas dan terjadi dalam empat bentuk yaitu: cedera akson
menyebar, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil
multipel pada seluruh otak. Jenis cedera ini menyebabkan koma bukan karena
kompresi pada batang otak tetapi karena cedera menyebar pada hemisfer serebral,
batang otak, atau dua-duanya.
Ansietas
|
Mesenfalon tertekan
|
Resiko cedera
|
Imobilisasi
|
Tonsil cerebrum bergeser
|
Hambatan mobilitas fisik
|
Gangguan kesadaran
|
Herniasi unkus
|
Perubahan sirkulasi GCS
|
Peningkatan TIK
|
Gilus medialis lobus temporalis tergeser
|
Iskemia
|
-
Mual, muntah
-
Papilodema
-
Pandangan kabur
-
Penurunan fungsi pendengaran
-
Nyeri kepala
|
Hipoksia
|
Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak
|
Kompresi medulla
oblongata
|
Gangguan persepsi sensori
|
Resiko kekurangan volume cairan
|
Kerusakan memori
|
Gangguan neurologis vokal
|
Defisit neurologis
|
-
Bersihan jalan nafas tidak efektif
-
Obstruksi jalan nafas
-
Dispnea
-
Henti nafas
-
Perubahan pola nafas
|
Ketidakefektifan bersihan jalan nafas.
|
-
Pendarahan
-
hematoma
|
Gangguan suplai darah
|
Resiko infeksi
|
Nyeri akut
|
-
Perubahan autoregulasi
-
Oedema serebral
|
Kejang
|
Ekstrakranial
|
Terputusnya kontinuitas
jaringan kulit, otot dan vaskuler
|
Resiko perdarahan
|
Tulang kranial
|
Terputusnya kontinuitas jaringan tulang
|
Intrakranial
|
Jaringan otak rusak (kontusio laserasi)
|
Trauma
kepala
|
2.4
Asuhan
Keperawatan
A. Pengkajian
Pengumpulan data klien baik subjektif maupun
objektif pada gangguan system persarafan sehubungan dengan cedera kepala
tergantung pada bentuk, lokasi, jenis injuri, dan adanya komplikasi pada organ
vital lainnya. Pengkajian keperawatan cedera kepala meliputi anamnesis, riwayat
penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostic, dan pengkajian
psikososial.
Anamnesis
Identitas klien meliputi nama, umur (kebanyakan
terjadi pada usia muda), jenis kelamin (banyak laki-laki, karena sering
ngebut-ngebutan dengan motor tanpa pengaman helm), pendidikan, alamat,
pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam masuk rumah sakit, nomor
register, diagnosis medis.
Keluhan utama yang sering menjdai alasan klien untuk
meminta pertolongan kesehatan tergantung dari seberapa jauh dampak trauma
kepala disertai penurunan tingkat kesadaran.
Riwayat Penyakit Saat Ini
Adanya riwayat trauma yang mengenai kepala akibat
dari kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian, dan trauma langsung ke
kepala. Pengkajian yang didapat meliputi tingkat kesadaran menurun (GCS
<15), konvulsi, muntah, takipnea, sakit kepala, wajah simetris atau tidak,
lemah, luka dikepala, paralisis, akumulasi secret pada saluran pernapasan,
adanya liquor dari hidung dan telinga, serta kejang. Adanya penurunan atau
perubahan pada tingkat kesadaran dihubungkan dengan perubahan di dalam intracranial.
Keluhan perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit,
dapat terjadi letargi, tidak responsif, dan koma.
Perlu ditanyakan pada klien atau keluarga yang
mengantar klien (bila klien tidak sadar) tentang penggunaan obat-obatan adiktif
dan penggunaan alcohol yang sering terjadi pada beberapa klien yang suka
ngebut-ngebutan.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya
riwayat hipertensi, riwayat cedera kepala sebelumnya, diabetes mellitus,
penyakit jantung, anemia, penggunaan obat-obat antikoagulan, aspirin,
vasodilator, obat-obat adikti, konsumsi alcohol berlebihan.
Riwayat Penyakit Keluarga
Mengkaji adanya anggota generasi terdahulu yang
mendertita hipertensi dan diabetes mellitus.
Pengkajian Psiko-Sosial-Spiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien
untuk menilai respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan
perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau
pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam
masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada klien, yaitu timbul seperti
kerakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan
aktifitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra
diri).
Adanya perubahan hubungan dam peran karena klien
mengalami kesukaran untuk berkomunikasi akibat gangguan bicara. Pola persepsi
dan konsep diri didapatkan klien merasa tidak berdaya, tidak ada harapan, mudah
marah, dan tidak kooperatif.
Karena klien harus menjalani rawat inap maka apakah
keadaan ini member dampak pada status ekonomi klien, karena biaya perawatan dan
pengobatan memerlukan dan yang tidak sedikit. Cedera kepala memerlukan biaya
untuk pemeriksaan, pengobatan, dan perawatan dapat mengacaukan keuangan
keluarga sehingga faktor biaya ini dapat memengaruhi stabilitas emosi dan
pikiran klien dan keluarga. Perawat juga memasukkan pengkajian terhadap fungsi
neurologis dengan dampak gangguan neurologis yang akan terjadi pada gaya hidup
individu.perspektif keperawatan dalam mengkaji terdiri atas dua masalah, yaitu
keterbatasan yang diakibatkan oleh deficit neurologis dalam hubungannya dengan
peran social klien dan rencana pelayanan yang akan mendukung adaptasi pada
gangguan neurologis didalam system dukungan individu.
Pemeriksaan Fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada
keluhan-keluhan klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data
dari pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan persistem
(B1-B6) dengan fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (Brain) yang terarah
dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien.
Keadaan Umum
Pada keadaan cedera kepala umumnya mengalami
penurunan kesadaran 9cedera kepala ringan/cedera otak ringan, GCS 13-15, cedera
kepala sedang GCS 9-12, cedera kepala berat/cedera otak berat, bila GCS kurang
atau sama dengan 8) dan terjadi perubahan tanda-tanda vital.
B1
(Breathing)
Perubahan pada system pernapasan bergantung pada
gradasi dari peubahan jaringan serebral akibat trauma kepala. Pada beberapa
hasil dari pemeriksaan fisik dari system ini akan didapatkan :
Inspeksi,
didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas, penggunaan
otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan. Terdapat retraksi
klavikula/dada, pegembangan paru tidak simetris. Ekspansi dada : dinilai
penuh/tidak penuh dan kesimetrisannya. Ketidaksimetrisan mungkin menunjukkan
adanya atelektaksis, lesi paru, obstruksi pada bronkus, fraktur tulang iga,
pneumothoraks, atau peempatan endotrakeal dan tube trakeostomi yang kurang
tepat. Pada observasi ekspansi dada juga perlu dinilai : retraksi dari
otot-otot interkostal, substernal, pernapasan abdomen, dan respirasi paradox
(retraksi abdomen saat inspirasi). Pola napas ini dapat terjadi jika otot-otot
interkostal tidak mampu menggerakkan dinding dada.
Palpasi,
fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain akan didapatkan apabila
melibatkan trauma pada rongga thoraks.
Perkusi,
adanya suara redup sampai pekak pada keadaan melibatkan trauma pada
thoraks/hematothoraks.
Auskultasi,
bunyi nbunyi napas tambahan seperti napas berbunyi, stapas tambahan seperti
napas berbunyi, stridor, ronkhi pada klien dengan peningkatan produksi secret,
dan keemampuan batuk yang menurun sering didapatkan pada klien cedera kepala
dengan penurunan tingkat kesadaran koma.
Pada
klien cedera otak berat dan sudah terjadi disfungsi pusat pernapasan, klien
biasanya terpasang ETT dengan ventilator dan biasanya klien dirawat diruang
perawatan intensif sampai kondisi klien menjadi stabil. Pengkajian klien cedera
otak berat dengan pemasangan ventilator secara komprehensif merupakan jalur
keperawatan kritis.
Pada
klien dengan tingkat kesadaran compos mentis pada pengkajian inspeksi
pernapasan tidak ada kelainan. Palpasi thoraks didapatkan taktil premitus
seimbang kanan dan kiri. Auskultasu tidak didapatkan bunyi napas tambahan.
B2
(Blood)
Pengkajian pada system kardiovaskular didapatkan
renjatan (syok) hipovlemik yang sering terjadi pada klien cedera kepala sedang
dan berat. Hasil pemeriksaan kardiovaskular klien cedera kepala pada beberapa
keadaan dapat ditemukan tekanan darah normal atau berubah, nadi bradikardi,
takikardi, dan aritmia. Frekuensi nadi cepat dan lemah berhubungan dengan
homeostasis tbuh dalam upaya menyeimbangkan kebutuhan oksigen perifer. Nadi
bradikardi merupakan tanda dari perubahan perfusi jaringan otak. Kulit
kelihatan pucat menandakan adanya penurunan kadar hemoglobin dalam darah.
Hipotensi menandakan adanya perubahan perfusi jaringan dan tanda-tanda awal
dari suatu syok. Pada beberapa keadaan lain akibat dari trauma kepala akan
merangsang pelepasan antidiureti hormon (ADH) yang berdampak pada kompensasi
tubuh untuk melakukan retensi atau pengeluaran garam dan air oleh tubulus.
Mekanisme ini akan meningkatkan konsentrasi elektrolit meningkat sehingga
memberiksan risiko terjadinya gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada
system kardiovaskular.
Risiko
Gangguan Keseimbangan dan Elektrolit
Gambar
5-5. Mekanisme risiko gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit, merupakan manifestasi tubuh akibat dari trauma kepala.
B3
(Brain)
Cedera kepala menyebabkan berbagai deficit
neurologis terutama disebabkan pengaruh peningkatan tekanan intracranial akibat
adanya perdarahan baik bersifat intraserebral hematoma, subdural hematoma, dan
epidural hematoma. Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih
lengkap dibandingkan pengkajian pada system lainnya.
Tingkat kesadaran
Tingkat
kesadaran klien dan respon terhadap lingkungan adalah indicator paling
sensitive untuk menilai disfungsi system persarafan. Beberapa system digunakan
untuk membuat peringkat perubahan dalam kewaspadaan dan kesadaraan. Pada
keadaan lanjut tingkat kesadara klien cedera kepala biasanya berkisar pada
tingkat letargi, struptor, semikomatosa, sampai koma.
Pengkajian fungsi serebral
·
Status mental : observasi penampilan dan tingkah lakunya, nilai gaya
bicara klien dan observasi ekspresi wajah, dan aktivitas motorik pada klien
cedera kepala tahap lanjut biasanya status mental mengalami perubahan.
·
Fungsi intelektual : pada beberapa keadaan klien cedera
kepala didapatkan penurunan dalam ingatan dan memori baik jangka pendek maupun
jangka panjang.
·
Lobus frontal : kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologis
didapatkan bila trauma kepala mengakibatkan adanya kerusakan pada lobus frontal
kapasitas, memori, atau fungsi intelektual kortikal yang lebih tinggi mungkin
rusak. Disfungsi ini dapat ditunjukkan dalam lapang perhatian terbatas,
kesulitas dalam pemahaman, lipa, kurang motivasi, yang menyebabkan klien ini
menghadapi masalah frustasi dalam program rehabilitasi mereka. Masalah
psikologis, bermusuhan, frustasi, dendam, dan kurang kerja sama.
·
Hemisfer :
cedera kepala hemisfer kanan didapatkan hemiparese sebelah kiri tubuh,
penilaian buruk, dan mempunyai kerentana terhadap sisi kolateral sehingga
kemungkinan terjatuh ke sisi yang berlawanan tersebut. Cedera kepala pada
hemisfer kiri, mengalami hemiparese kanan, perilaku lambat dan sangat
hati-hati, kelainan bidang pandang sebelah kanan, disfagia global, afasia, dan
mudah frustasi.
Pemeriksaan saraf cranial
Saraf I.
Pada beberapa keadaan cedera kepala di aerah yang merusak anatomis dan
fisiologis saraf ini klien akan mengalami kelainan pada fungsi
penciuman/anosmia unilateral atau bilateral.
Saraf II. Hematoma
palpebra pada klien cedera kepala akan menurunkan lapangan penglihatan dan
mengganggu fungsi dari nervus optikus. Perdarahan di ruang intracranial,
terutama hemoragia subarakhnoidal, dapat disertai dengan perdarahan diretina.
Anomaly pembuluh darah di dalam otak dapat bermanifestasi juga di fundus.
Tetapi dari segala masam kelainan di dalam ruang intracranial, tekanan
intracranial dapat dicerminkan pada fundus.
Saraf III, IV, dan VI. Gangguan
mengangkat kelopak mata pada klien dengan trauma yang merusak rongga orbital.
Pada kasus-kasus trauma kepala dapat dijumpai anisokoria. Gejala ini harus
dianggap sebagai tanda serius jika midriasis itu tidak bereaksi pada
penyinaran. Tanda awal herniasi tentorium adalah midriasis yang tidak bereaksi
pada penyinaran. Paralisis otot-otot ocular akan menyusul pada tahap
berikutnya. Jika pada trauma kepala terdapat anisokoria dimana bukannya
midriasis yang ditemukan, melainkan miosis yang bergandengan dengan pupil yang
miosislah yang abnormal. Miosis ini disebabkan oleh lesi di lobus frontalis
ipsilateral yang mengelola pusat siliosponal. Hilangnya fungsi itu berarti
pusat siliospinal menjadi tidak efektif, sehingga pupil tidak berdilatadi
melainkan berkonstriksi.
Saraf V. Pada
beberapa keadaan cedera kepala menyebabkan paralisis nervus trigenimus,
didapatkan penurunan kemampuan koordinasi gerakan mengunyah.
Saraf VII. Persepsi
pengecapan mengalami perubahan.
Saraf VIII. Perubahan
fungsi pendengaran pada klien cedera kepala ringan biasanya tidak didapatkan
apabila trauma yang terjadi tidak melibatkan saraf vestibulokoklearis.
Saraf IX dan X.
Kemampuan menelan kurang baik, kesukaran membuka mulut.
Saraf XI.
Bila tidak melibatkan trauma pada leher, mobilitas klien cukup baik dan tidak
ada artrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.
Saraf XII.
Indra pengecapan mengalami perubahan.
System motorik
·
Inspeksi umum, didapatkan hemiplagia
(paralisis pada msalah satu sisi) karena lesi pada sisi otak yang berlawanan.
Hemiparesis (kelemahan salah satu sisi tubuh) adalah tanda yang lain.
·
Tonus otot, didapatkan menurun sampai
hilang.
·
Kekuatan otot, pada penilaian dengan
menggunakan grade kekuatan otot didapatkan grade 0.
·
Keseimbangan dan koordinasi, didapatkan
mengalami gangguan karena hemiparese dan hemiplagia.
Pemeriksaan refles
·
Pemeriksaan reflex dalam, pengetukan
pada tendon, ligamentum, atau periosteum derajat pada respons abnormal.
·
Pemeriksaan reflex patologis, pada fase
akut reflex fisiologis sisi yang lumpuh akan menghilang. Setelah beberapa hari
reflex fisiologis akan muncul kembali dengan reflex patologis.
System sensorik
Dapat
terjadi hemihipestesi. Persepsis adalah ketidakmampuan untuk
menginterpretasikan sensasi. Disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras
sensorik primer di antara mata dan korteks visual. Gangguan hubungan visual spasial
(mendapatkan hubungan dua atau lebih objek dalam area spasial) sering terlihat
pada klien dengan hemiplegia kiri.
Kehilangan
sensorik karena cedera kepala dapat berupa kerusakan sentuhan ringan atau
mungkin lebih berat, dengan kehilangan propriosepsi (kemampuan untuk merasakan
posisi dan gerakan bagian tubuh) serta kesulitan adalam menginterpretasikan
stimuli visual, taktil, dan auditorius.
B4
(Bladder)
Kaji keadaan urine meliputi warna, jumlah, dan
karakteristik, termasuk berat jenis. Penurunan jumlah urine dan peningkatan
retensi cairan dapat terjadi akibat menurunnya perfusi ginjal. Setelah cedera
kepala klien mungkin mengalami inkontinensia urin karena konfusi,
ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk
menggunakan urinal karena kerusakan kontrok motorik dan postural. Kadang-kadang
control sfingter urinarius eksternal hilang atau berkurang. Selama periode ini,
dilakukan kateterisasi intermiten dengan teknik steril. Inkontinensia urin yang
berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas.
B5
(Bowel)
Didapatkan adanya keluahan kesulitan menelan, nafsu
makan menurun, mual muntah fase akut. Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung
sehingga menimbulkan masalah pemenuhan nutrisi. Pola defekasi terjadi
konstipasi akibat penurunan peristaltic usus. Adanya inkontinensia alvi yang
berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis usus.
Pemeriksaan rongga mulut dengan melakukan penilaian
ada tidaknya lesi pada mulut atau perubahan pada lidah dapat menunjukkan adanya
dehidrasi. Pemeriksaan bising usus untuk menilai ada atau tidaknya dan kualitas
bising usus harus dikaji sebelum melakuak palpasi abdomen. Bising usus menurun
atau hilang dapat terjadi pada paralitik ileus dan peritonitis. Lakukan
observasi bising usus dapat terjdadi akibat tertelannya udara yang berasal dari
sekitar selang endotrakeal dan nasotrakeal.
Akibat
trauma terhadap system metabolisme
Kelelahan/kelemahan fisik
Gambar 5-7. Mekanisme
perubahan yang terjadi pada klien trauma memberikan manifestasi pada perubahan
status nutrisi tubuh dan kelemahan fisik secara umum dampak dari trauma kepala.
B6
(Bone)
Disfungsi motorik paling umum adalah kelemahan pada
seluruh ekstremitas. Kaji warna kulit, suhu, kelembapan, dan turgor kulit.
Adanya perubahan warna kulit warna kebiruan menunjukkan adanya sianosis (ujung
kuku, ekstremitas, telinga, hidung, bibir, dan membrane mukosa). Pucat pada
wajah dan membrane mukosa dapat berhubungan dengan rendahnya kadar hemoglobin
atau syok. Pucat dan sianosis pada klien yang menggunakan ventilator dapat
terjadi akibat adanya hipoksemia. Jaundice (warna kuning) pada klien yang
menggunakan respirator dapat terjadi akibat penurunan aliran darah portal
akibat dari penggunaan packed red cells (PRC) dalam jangka waktu lama. Pada
klien dengan kulit gelap, perubahan warna tersebut tidak begitu jelas terlihat.
Warna kemerahan pada kulit dapat menunjukkan adanya demam dan infeksi.
Integritas kulit untuk menilai adanya lesi dan dekubitus. Adanya kesukaran
untuk beraktifitas karena kelemahan, kehilangan sensorik atau
paralisis/hemiplegia, mudah lelah menyebabkan masalah pada pola aktivitas dan
istirahat.
B. Diagnosa
Keperawatan
Diagnosa
keperawatan yang mungkin timbul adalah:
1.
Tidak efektifnya bersihan jalan nafas
adanya sekresi dan penumpukan sputum.
2.
Perubahan perfusi jaringan serebral
berhubungan dengan edema serebral, penghentian aliran darah (hemoragi,
hematoma) dan peningkatan tekanan intrakranial.
3.
Tidak efektifnya pola nafas berhubungan
dengan depresi pada pusat nafas di otak.
4.
Nyeri berhubungan dengan peningkatan TIK
dan trauma kepala.
5.
Keterbatasan aktifitas berhubungan
dengan penurunan kesadaran (sopor-koma)
6.
Resiko kurangnya volume cairan
berhubungan mual dan muntah hubungan
dengan menurunnya kesadaran atau meningkatnya tekanan intrakranial.
7.
Resiko infeksi berhubungan dengan
kondisi penyakit akibat trauma kepala.
8.
Resiko gangguan integritas kulit
berhubungan dengan immobilisasi, tidak adekuatnya sirkulasi perifer, bedrest
total.
9.
Kecemasan pasien-keluarga berhubungan
dengan kondisi penyakit akibat trauma kepala.
C. Intervensi
Keperawatan
1.
Tidak efektifnya bersihan jalan nafas
adanya sekresi dan penumpukan sputum.
Tujuan:
jalan nafas efektif dan tidak terjadi aspirasi.
Kriteria hasil:
suara nafas bersih, tidak terdapat suara secret pada selang, sianosis tidak
ada.
Intervensi:
a)
Kaji dengan ketat (tiap 15 menit) kelancaran jalan
nafas.
Rasional:
obstruksi dapat disebabkan penumpukan sekret/ sputum, perdarahan, bronkospasme,
atau masalah terhadap tube.
b)
Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi dada setiap
satu jam.
Rasional:
pergerakan yang simetris dan suara nafas yang bersih indikasi pemasangan tube
yang tepat dan tidak adanya peningkatan sputum.
c)
Lakukan pengisapan lendir dengan waktu kurang dari 15
detik bila sputum banyak.
Rasional:
member kelancaran jalan nafas dan pengisapan lendir tidak dilakukan terlalu
rutin dan waktu harus dibatasi untuk mencegah hipoksia.
d)
Bila tidak ada fraktur servikal berikan posisi kepala
sedikit ekstensi dan tinggikan 15 – 30 derajat.
Rasional:
posisi sedikit ekstensi dan ketinggian 15 – 30 derajat dapat mencegah
terjadinya penutupan jalan nafas secara parsial atau total.
2.
Perubahan perfusi jaringan serebral
berhubungan dengan edema serebral, penghentian aliran darah (hemoragi,
hematoma) dan peningkatan tekanan intrakranial.
Tujuan:
Perfusi jaringan serebral adekuat
Kriteria hasil : tidak
ada pusing hebat, kesadaran tidak menurun, tanda-tanda vital stabil dan tidak
terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial.
Intervensi:
a) Monitor
dan catat status neurologis dengan menggunakan metode GCS.
Rasional: refleks membuka mata
menentukan pemulihan tingkat kesadaran, respon motorik menentukan kemampuan
berespon terhadap stimulus eksternal dan indikasi kesadaran yang membaik,
reaksi pupil digerakkan oleh saraf cranial ocular motoris dan untuk menentukan
refleks batang otak, pergerakan mata membantu menentukan area cedera dan tanda
awal peningkatan tekanan intrakranial adalah terganggunya abduksi mata.
b) Mengukur
tanda-tanda vital tiap 30 menit
Rasional: peningkatan sistolik dan
penurunan diastolik serta apenurunan tingkat kesadaran dan tanda-tanda
peningkatan tekanan intrakranial. Adanya pernafasan yang irreguler, indikasi
terhadap adanya peningkatan metabolisme sebagai reaksi terhadap infeksi. Untuk
mengetahui tanda-tanda syok akibat perdarahan.
c) Pertahankan
posisi kepala yang sejajar dan tidak menekan (posisi midline).
Rasional: perubahan kepala pada
satu sisi dapat menimbulkan penekanan pada vena jugularis dan menghambat aliran
darah ke otak, untuk itu dapat meningkatkan tekanan intrakranial.
d) Hindari
batuk yang berlebihan, muntah, mengedan (valsava maneuver), pertahankan ukuran
urin dan hindari konstipasi yang berkepanjangan.
Rasional: dapat mencetuskan respon
otomatik peningkatan tekanan intrakranial.
e) Observasi
kejang dan lindungi pasien dari hipoksia akibat kejang.
Rasional: kejang terjadi akibat
iritasi otak, hipoksia dan kejang dapat meningkatkan tekanan intrakranial.
f) Kolaborasi:
-
Berikan oksigen sesuai dengan kondisi
pasien
Rasional: dapat
menurunkan hipoksia otak.
-
Berikan obat – obatan yang diindikasikan
dengan tepat dan benar.
Rasional: membantu
menurunkan tekanan intrakranial secara biologi/ kimia seperti osmotic diuretik
untuk menarik air dari sel-sel otak sehingga dapat menurunkan edema otak,
steroid (dexamethason) untuk menurunkan inflamasi, menurunkan edema jaringan,
obat anti convulsive untuk menurunkan kejang, antipiretik untuk menurunkan
panas yang dapat meningkatkan pemakaian oksigen otak.
3.
Tidak efektifnya pola nafas berhubungan
dengan depresi pada pusat nafas di otak.
Tujuan:
mempertahankan
pola nafas yang efektif
Kriteria hasil:
sianosis tidak ada atau tanda-tanda hipoksia tidak ada, penggunaan otot bantu
nafas tidak ada.
Intervensi:
a)
Kaji status pernafasan, kedalamannya, usaha dalam
bernafas.
Rasional:
pernafasan yang cepat dari pasien dapat menimbulkan alkalosis respiratori dan perdafasan
lambat meningkatkan tekanan CO2, dan menyebabkan alkalosis respiratori.
b)
Cek pasangan tube
Rasional:
untuk memberikan ventilasi yang adekuat dalam pemberian tidal volume.
c)
Observasi rasio inspirasi dan ekspirasi
Rasional:
pada fase ekspirasi biasanya 2 kali lebih panjang dari inspirasi, tetapi dapat
lebih panjang sebagai kompensasi, terperangkapnya udara terhadap gangguan
pertukaran gas.
d)
Pemberian oksigen sesuai program (jika tidak
menggunakan ventilator)
Rasional:
menurunkan hipoksia otak
e)
Cek selang ventilator setiap 15 menit.
Rasional:
adanya obstruksi dapat menimbulkan tidak adekuatnya pengaliran volume dan
menimbulkan penyebaran udara yang tidak adekuat.
f)
Siapkan ambu bag tetap berada di dekat pasien
Rasional:
membantu memberikan ventilasi yang adekuat bila ada gangguan ventilator.
4.
Nyeri berhubungan dengan peningkatan TIK
dan trauma kepala.
Tujuan:
nyeri
berkurang atau hilang
Kriteria hasil:
tidak mengeluh nyeri, dan tanda-tanda vital dalam batas normal (N= 60-100, TD=
120/80, R=16-20)
Intervensi:
a) Kaji
keluhan nyeri dengan menggunakan skala nyeri, catat lokasi nyeri, lamanya,
serangannya, peningkatan nadi, nafas cepat atau lambat, berkeringat dingin.
Rasional: menentukan status
kesehatan klien dan menentukan tindakan yang akan dilakukan.
b) Ciptakan
lingkungan yang nyaman termasuk tempat tidur.
Rasional: lingkungan yang nyaman
dapat mengurangi tekanan psikis yang akan meningkatkan rangsang nyeri.
c) Berikan
sentuhan terapeutik, lakukan distraksi dan relaksasi.
Rasional: pasien lebih kooperatif dan
mengurangi nyeri.
d) Kolaborasi
pemberian obat analgetik sesuai dengan program.
Rasional: mengurangi rasa nyeri
yang ada.
5.
Keterbatasan aktifitas berhubungan
dengan penurunan kesadaran (soporos-koma)
Tujuan:
Kebutuhan
dasar pasien dapat terpenuhi secara adekuat.
Kriteria hasil : Kebersihan
terjaga, kebersihan lingkungan terjaga, nutrisi terpenuhi sesuai dengan
kebutuhan, oksigen adekuat.
Intervensi:
a) Berikan
penjelasan tiap kali melakukan tindakan pada pasien.
Rasional: Penjelasan dapat mengu-rangi kecemasan dan
meningkatkan kerja sama yang dilakukan pada pasien dengan kesadaran penuh atau
menurun.
b) Beri
bantuan untuk memenuhi kebersihan diri.
Rasional: Kebersihan
perorangan, eliminasi, berpakaian, mandi, membersihkan mata dan kuku, mulut,
telinga, merupakan ke-butuhan dasar akan kenyamanan yang harus dijaga oleh
perawat untuk meningkatkan rasa nyaman, mencegah in-feksi dan keindahan.
c) Berikan
bantuan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dan cairan.
Rasional: Makanan dan
minuman merupakan kebutuhan sehari-hari yang harus dipenuhi untuk menjaga
kelangsungan perolehan energi. Diberikan sesuai dengan kebutuhan pasien baik
jumlah, kalori, dan waktu.
d)
Jelaskan pada keluarga tindakan yang
dapat dilakukan untuk menjaga lingkungan yang aman dan bersih.
Rasional: Keikutsertaan keluarga diperlukan
untuk men-jaga hubungan klien - keluarga. Penjelasan per-lu agar keluarga dapat
memahami peraturan yang ada di ruangan.
e)
Berikan bantuan untuk memenuhi
kebersihan dan keamanan lingkungan.
Rasional: Lingkungan yang bersih dapat
mencegah infeksi dan kecelakaan.
6.
Resiko kurangnya volume cairan
berhubungan mual dan muntah hubungan
dengan menurunnya kesadaran atau meningkatnya tekanan intrakranial.
Tujuan:
Tidak ditemukan tanda-tanda kekurangan volume cayran atau dehidrasi
Kriteria hasil:
membran mukosa lembab, turgor kulit baik (< 3 detik), dan nilai elektrolit
dalam batas normal.
Intervensi:
a)
Kaji intake dan out put.
Rasional: menentukan status hidrasi klien
b) Kaji
tanda-tanda dehidrasi: turgor kulit,
membran mukosa, dan out put urine.
Rasional:
turgor kulit jelek, membrane mukosa kering menandakan status hidrasi yang tidak
adekuat.
c) Kolaborasi
pemberian cairan intravena sesuai program.
Rasional:
untuk memenuhi kebutuhan cairan klien.
7.
Resiko infeksi berhubungan dengan
kondisi penyakit akibat trauma kepala.
Tujuan:
infeksi tidak terjadi
Kriteria hasil:
Mempertahankan normotermia, bebas tanda-tanda infeksi, tidak ada pus dari luka,
mencapai penyembuhan luka tepat waktu, leukosit dalam batas normal.
Intervensi:
a)
Pantau suhu tubuh secara teratur, catat
adanya demam, menggigil, diaforesis dan perubahan fungsi mental (penurunan
kesadaran).
Rasional: Dapat mengindikasikan
perkembangan sepsis yang selanjutnya memerlukan evaluasi atau tindakan dengan
segera.
b)
Observasi daerah kulit yang mengalami
kerusakan, daerah yang terpasang alat invasi, catat karakteristik dari drainase
dan adanya inflamasi.
Rasional: Deteksi dini perkembangan infeksi
memungkinkan untuk melakukan tindakan dengan segera dan pencegahan terhadap
komplikasi selanjutnya.
c) Kaji
tanda dan gejala adanya meningitis, termasuk kaku kuduk, iritabel, sakit
kepala, demam, muntah dan kenjang.
Rasional: untuk
mengetahui adanya infeksi yang lebih lanjut
d)
Anjurkan untuk melakukan napas dalam,
latihan pengeluaran sekret paru secara terus menerus. Observasi karakteristik
sputum.
Rasional: Peningkatan mobilisasi dan
pembersihan sekresi paru untuk menurunkan resiko terjadinya pneumonia,
atelektasis.
e) Berikan
perawatan aseptik dan antiseptik, pertahankan tehnik cuci tangan yang baik.
Rasional: Cara pertama
untuk menghindari terjadinya infeksi nosokomial.
f) Lakukan
perawatan luka dengan steril dan hati-hati.
Rasional: mempercepat
proses penyembuhan dan mencegah terjadinya
infeksi lebih lanjut.
g) Kolaborasi
pemberian antibiotik sesuai indikasi
Rasional: Terapi
profilatik dapat digunakan pada pasien yang mengalami trauma, kebocoran CSS
atau setelah dilakukan pembedahan untuk menurunkan resiko terjadinya infeksi
nosokomial.
8. Resiko
gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi, tidak adekuatnya
sirkulasi perifer, bedrest total.
Tujuan:
Gangguan integritas kulit tidak terjadi
Kriteria hasil:
kulit tetap utuh, tidak ada kemerahan
Intervensi:
a) Kaji
fungsi motorik dan sensorik pasien dan sirkulasi perifer. Kaji kulit pasien
setiap 8 jam : palpasi pada daerah yang tertekan.
Rasional:
Untuk menetapkan ke-mungkinan terjadinya lecet pada kulit.
b) Ganti
posisi pasien setiap 2 jam. Berikan posisi dalam sikap anatomi dan gunakan
tempat kaki untuk daerah yang menonjol.
Rasional: Dalam waktu 2
jam diperkirakan akan terjadi penurunan perfusi ke jaringan sekitar. Maka
dengan mengganti posisi setiap 2 jam dapat memperlancar sirkulasi tersebut.
Dengan posisi anatomi maka anggota tubuh tidak mengalai gangguan, khususnya
masalah sirkulasi /perfusi jaringan. Mengalas bagian yang menonjol guna
mengurangi penekanan yang mengakibatkan lesi kulit.
c) Pertahankan
kebersihan dan kekeringan pasien
Rasional: Keadaan
lembab akan memudahkan terjadinya kerusakan kulit.
d) Massage
dengan lembut di atas daerah yang menonjol setiap 2 jam sekali.
Rasional:
Meningkatkan sirkulasi dan elastisitas kulit dan mengurangi kerasakan kulit.
e) Pertahankan
alat-alat tenun tetap bersih dan tegang.
Rasional: Dapat
mengurangi proses penekanan pada kulit dan menjaga kebersihan kulit.
f) Kaji
daerah kulit yang lecet untuk adanya eritema, keluar cairan setiap 8 jam.
Rasional: Sebagai
bagian untuk memperkirakan tindakan selanjutnya.
g) Berikan
perawatan kulit pada daerah yang rusak / lecet setiap 4 - 8 jam dengan
menggunakan H2O2.
Rasional: Untuk
mencegah bertambah luas kerusakan kulit.
9. Kecemasan
pasien-keluarga berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma kepala.
Tujuan:
pasien dan keluarga akan menunjukkan rasa cemas berkurang kriteria hasil: yang ditandai dengan tidak gelisah, ekspresi wajah
tidak menunjang adanya kecemasan, dan keluarga dapat mengekspresikan perasaan
tentang kondisi dan aktif dalam perawatan pasien.
Intervensi:
a) Bina
hubungan saling percaya.
Rasional: Untuk membina hubungan terapeutik
perawat - pasien dan keluarga.
b) Dengarkan
dengan aktif dan empati ekspresi perasaan klien dan keluarga
Rasional:
dengan melakukan tindakan tersebut pasien dan keluarga akan merasa
diperhatikan.
c) Beri
penjelasan tentang semua prosedur dan tindakan yang akan dilakukan pada pasien.
Rasional: Penjelasan akan mengurangi kecemasan
akibat ketidaktahuan.
d) Berikan
kesempatan pada keluarga untuk bertemu dengan klien. Rasional: Mempertahankan
hubungan pasien dan keluarga.
e) Berikan
dorongan spiritual untuk keluarga.
Rasional: Semangat keagamaan dapat
mengurangi rasa cemas dan meningkatkan keimanan dan ketabahan dalam menghadapi
krisis.
D. Implementasi
Keperawatan
Implementasi dilaksanakan sesuai dengan
rencana keperawatan yang telah dibuat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar